Tutup mulut dan jadilah lucu
A.S.
Laksana
S
|
aya
selalu terlambat dalam berkejaran dengan orang-orang lain di wilayah pergaulan
digital. Beberapa teman, dan juga istri saya, sudah beberapa kali berganti smartphone, sedangkan saya baru menggunakannya kurang lebih setengah
tahun belakangan. Itupun dibelikan kawan baik yang merasa teharu melihat ponsel
kuno yang saya gunakan.
Selanjutnya,
saya mulai membiasakan diri dengan gawai tersebut-masih agak kikuk
menggunakannya di tempat-tempat umum hingga sekarang. Saya hampir tidak pernah
membuka media sosial di tempat umum, apalagi ketika sedang bercakap-cakap
dengan teman –teman.
Sekarang
saya sudah lebih fasih menggunakannya. Kadang-kadang, begitu bangun tidur, hal
pertama yang saya cari adalah smartphone:
saya memeriksa Facebook, WhatsApp,
Twitter. Itu sebanya saya sekarang bertekad menjadikan buku sebagai benda
pertama yang saya pegang begitu bangun tidur.
Pada
suatu pagi pekan lalu, begitu saya bangun tidur, aplikasi WhatsApp memberi tahu 873 pesan. Beberapa tulisan di dinding Facebook membuat perasaan saya kalut dan
marah. Dan perasaan marah itu bertahan lama: seharian saya menjalani urusan
dengan kemarahan yang muncul sejak pagi hari.
Anda
mungkin memiliki pengalaman serupa dengan yang saya alami pagi itu, atau bahkan
sudah menjadi kebiasaan, langsung meraih smartphone
setiap bangun tidur, dan membeku dengan gawai tersebut sampai beberapa waktu.
Lalu, anda buka semua media sosial, mendapati beberapa tulisan yang
membangkitkan perasaan marah, dan saat berikutnya anda ikut menceburkan diri ke
jejaring sosial dan ikut-ikutan marah. Saya melihat banyak orang marah-marah di
media sosial. Mereka marah hari ini, marah besok pagi, marah lagi lusa.
Saya
pikir anda perlu hati-hati terhadap gejala semacam itu. Kemarahan adalah emosi
sangat kuat, yang menjadi akar dari berbagai gangguan, baik fisik maupun
emosional. Satu emosi, lainnya adalah kecemasan. Itu hasil penelitian personal
yang dilakukan John Sarno, Profesor ilmu kedokteran New York University dan orang pertama yang menyodorkan Mind- Body Connection.
Kemarahan,
sebagaimana emosi-emosi yang lain, adalah respons anda terhadap situasi
eksternal. Situasi akan tetap seperti itu, hanya anda yang akan menjadi gila
sendiri. Melampiaskan kemarahan setiap hari. Anda mengarang cerita sendiri di
dalam benak anda, cerita yang cocok dengan amarah yang berkobar di dalam diri
anda. Sebagian orang mendukung anda, sebagian yang lain tidak melihat situasi
seperti anda melihatnya. Mereka baik-baik saja dan anda marah kepada
orang-orang yang merasa semuanya baik-baik saja. Saya beruntung pernah
mendengar cerita tentang bagaimana mengatasi kemarahan. Orang-orang dewasa yang
menceritakan itu kepada saya bertahun-tahun lalu. Mereka bilang kemarahn adalah
api, dan setan terbuat dari api. Karena itu, ketika kita marah, disarankan agar
kita meminta perlindungan kepada Tuhan dari godaan setan yang terkutuk. Itu
cara pertama mengatasi kemarahan menurut islam, agama keluarga saya.
Agama-agama
lain, atau tradisi-tradisi lain, saya yakin memiliki cara masing-masing tentang
bagaimana mengatasi kemarahan. Cara berikutnya, jika anda masih tetap marah
meskipun sudah minta perlindungan, adalah tutup mulut, berhenti bicara. Orang
yang marah biasanya akan menyemburkan kemarahnnya jika ia berata-kata. Ia sulit
dihadapi dengan cara apapun. Kita diam, ia makin marah. Kita menjawab, ia makin
marah.
Selain
itu, ucapan orang yang sedang marah seringkali melukai orang lain. Luka yang
disebabkan oleh tamparan bisa sembuh dan hilang bekasnya dalam beberapa hari.
Luka yang disebabkan oleh kata-kata akan bertahan selamnya.
Masih
ada teknik lain untuk mengatasi kemarahan, jika diam saja masih tidak mempan.
Jika anda marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika duduk pun masih marah,
berbaringlah. Jika berbaring masih marah, basuhlah diri dengan air wudu.
Prinsipnya,
kemarahan adalah api dan api adalah setan. Ia akan padam oleh air. Saya yakin
membasuh diri dengan air wudu, bagi orang islam, akan memadamkan kemarahan. Ia
akan memadamkan kebencian dan menghalangi kita dan urusan-urusan yang menyakiti
orang lain. Misalnya, ikut-ikutan menjadi penyalur hoax dan menyebarkan kebencian.
Bagaimanapun,
situasi bisa sulit, bisa bagus, tetapi pikiran kita perlu selalu bahagia. Kita
perlu merawat pikiran agar ia selalu bisa melihat sekecil apa pun. Dalam
situasi yang paling gelap.
Dalam
urusan ini, saya kagum kepada orang-orang yang memiliki selera humor yang baik.
Mereka memiliki pandangan dunia yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka selalu
mampu melihat sisi yang membuat mereka bisa tersenyum pada semua situasi, entah
situasi gelap atau terang.
Maka,
jadilah lucu dan tertawalah, konon tertawa itu sehat. Setidaknya tersenyumlah.
Senyum adalah sesuatu yang merekatkan hubungan antar manusia, sendangkan
kemarahan menjauhan. Dan, kemarahan selalu bersumber dari diri sendiri dari
pengalaman-pengalaman kita sendiri, dari cerita-cerita yang kita karang sendiri
ketika merespons sebuah situasi, itu sebabnya, teknik mengatasi kemarahan, yang
diajarkan oleh agama, adalah mengelola diri sendiri. Ia tidak mengajarkan
bagaimana cara mengubah situasi, tetapi bagaimana kita mengelola diri sendiri.
Perubahan siatuasi adalah resiko saja dari kecakapan kita mengelola diri sendiri.